Setiap kali tangan kita bergerak
untuk kebaikan, setiap kali kaki kita melangkah untuk kebenaran. Bahkan seluruh
panca indra dan hati di arahkan pada suatu kebaikan. Disitulah. Basmalah harus
kita ucapkan, seiring tuntunan Rasul yang di ajarkan oleh Allah SWT. Mungkin
inilah yang mendasari pendapat Ulama’ bahwa di balik Ba’ yang di tempatkan pada
lafadz ismu, ada pembuangan (jumlah fi’liyah)
kata kerja. Sebagai latar belakang kenapa kita harus baca basmalah.
Malah kalau kita mau makan lalu baca basmalah artinya: saya makan dengan
menyebut nama Allah. Kalau berwudlu’ dan diawali basmalah maka artinya: aku
melakukan Wudlu’ dengan menyebut asma Allah, dan begitu seterusnya.
Sedemikian agungnya nama Allah
itu, sehingga dengan menyebut saja sudah merupakan ibadah. Bahkan permohonan
pun dapat dilakukan melaluinya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan
bagi Allah nama-nama yang bagus, maka berdoalah kalian semua dengannya’'
Demikian juga ketika Nabi
menerima wahyu pertama dari Allah melalui malaikat Jibril, yang pertama di
perintahkan membaca dengan nama Allah: Iqro’
Bismi Rabbika alladzi khalaq maka sangat beralasan jika lafad ismu. Itu
musytaq (dicetak) dari kata-kata, سما - سمو yang
artinya “Tinggi-luhur”. Sebagaimana langit yang tinggi, dalam Bahasa Al-Qur’an
juga diberi nama سماء
Ulama’ membedakan antara lafadz سماء dan سموات sekalipun keduanya berasal dari wazan yang
sama bahwa سماء artinya:
arah atas, sehingga dapat dikatakan
semua yang menaungi kita adalah سماء
(langit). bisa atap, mendung dan lain sebagainya, karena itulah kenapa dalam
Al-Qur’an ketika Allah menyebutkan proses turunnya hujan cukup dengan
kata-kata: ماء وانزلنا
من السماء bukan dengan lafadz سموات karena jarak mendung yang menjadi kandungan
air hujan lebih dekat dengan bumi daripada langit. Tapi perhatikan ketika Allah
menyebutnya dengan سموات bukan سماء
lagi, seperti dalam ayat walillahi ma fissamawati wal ardi
dengan demikian maka lafadz الله sebuah nama yang hanya dimiliki tuhan semesta
alam.
Banyak pembahasan dikalangan ahli
bahasa, ada yang mengatakan bersumber dari kata-kata:اله yang artinya tuhan, dalam bentuk nakirah (tidak
ditentukan), ada juga yang
mengatakan bahwa lafadz الله
tidak berasal dari sebuah kata apapun. Akan tetapi lafadالله
merupakan bahasa tunggal yang hanya berasal dari Dzat Yang Maha Tunggal.
Kemudian, setelah kita dikenalkan dengan Allah sebagai tuhan, maka pada kalimat
berikutnya Allah mengenalkan kepada kita dua sifatnya: الرحمن الرحيم
artinya: pengasih (rahmat) dan maha penyayang.
Memang kedua kalimat tersebut,
selalu disebutkan di awal. Seperti dalam Basmalah dan dalam ayat: الرحيم الرحمن هو والشهادة الغيب عالم هو الا لااله الذي هوالله dua sifat ini dalam Basmalah
bergandengan dengan lafadz الله.
Dalam hal ini jika kita perhatikan, sungguh maha adil dan bijaksananya Allah,
sehingga menempatkan dua kalimat ini, sekalipun arti dari dua kalimat ini ada
sedikit perbedaan, namun dua kalimat ini sama-sama mengandung arti kasih
(rahmat), hanya saja kalau Ar-Rahman artinya pengasih rahmat secara umum, baik
di dunia maupun di akhirat. Sedangkan Ar-Rahim hanya tertentu di akhirat saja.
Sehingga nama Ar-Rahman, seluruh Ulama’
sepakat agar tidak dipakai pada selain Allah, kecuali diawali dengan
kata-kata hamba, seperti: عبد الرحمن. Berbeda dengan Ar-Rahim yang bisa
digunakan untuk selain Allah, dengan tanpa menggunakan kata: عبد . Sebagaimana Allah memberi nama hamba
kesayangannya “Muhammad”dengan Ar-Rahim. Sebagaimana dalam surat At-Taubah ayat
128 yang artinya:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (9: 128)
Kata Ar-Rahim dalam ayat ini
tidak lain hanyalah tertuju pada Nabi Muhammad SAW saja. Andai kata kalimat ini
hanyalah untuk Allah semata, niscaya Allah tidak mengajarkan kepada kita agar
memanggil nama nabi Muhammad dengan
Rahim.
Pernah suatu ketika, Musailamah
al-Khaddzab (pemimpin orang munafik Madinah), dengan segala kecongkaannya,
menamakan dirinya sebagai Rahman al-Yamamah, yang artinya pengasih di tanah
Yaman. Maka spontan para sahabat menyikapi hal itu dengan kebencian dan
menganggap bahwa Musailamah adalah Al-Kaddzab (orang yang banyak melakukan
kebohongan).
Dalam konteksnya, Ar-Rahman dan
Ar-Rahim, merupakan sifat Allah SWT yang perlu ditanamkan dalam jiwa manusia,
agar kita sama-sama menyadari bahwa setiap sesuatu yang dapat dinikmati oleh
kita, semata-mata datang dari kedua
sifat itu. Sehingga dengan demikian, timbullah pengakuan dari kita, betapa
agung dan mulianya Allah.
Setelah kita diciptakan, tidak
henti-hentinya curahan nikmat di kucurkan kepada kita, sehingga mensyukuri
nikmat Allah bukan hanya menjadi satu kewajiban, akan tetapi merupakan
kebutuhan yang seharusnya selalu ditanamkan dalam hati kita.
Coba kita perhatikan berapa kali
dalam satu detik kita menggunakan fasilitas yang diberikan Allah pada kita
secara bersamaan, mulai dari hembusan nafas, detakan jantung, kedipan mata,
aliran darah dan sebagainya?, lalu kita hitung berapa detik waktu yang kita
lalui dalam waktu sehari semalam?.
Pernahkah kita menghitung berapa
kali kita mengingat Allah untuk bersyukur kepadanya dalam waktu sehari semalam?
Pertanyaan inilah yang mestinya harus di munculkan dalam benak kita di setiap
saat agar kita dapat merasakan bahwa ni’mat itu datang dari Allah. Dan pada
suatu saat akan kembali lagi pada Allah. Jika pertanyaan ini ditanamkan dalam
hati kita, apalah artinya harta kita himpun, jika pada akhirnya akan
menyengsarakan kita sendiri. Buat apa kita nikmati kehidupan ini, jika tidak di
isi dengan pendekatan kita kepada Allah.(berbagai sumber)